UNIVERSITAS ISLAM DJAKARTA
Kelompok 2
Amran Rabani Zubaidi
Ahmad Fathoniansyah
Meyrani Utami Putri
Nanda Rizky Amalya
Qotrun Chusnul Chotimah
Rahmika Zami
Risma Nurlaili
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi pada dasarnya berhubungan dengan setiap upaya untuk mengatasi masalah keterbatasan sumber daya. Di Negara-negara sedang berkembang, keterbatasan sumber daya ini terutama berupa keterbatasan sumber dana untuk investasi, dan keterbatasan devisa, di samping itu tentunya keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam rangka mengatasi keterbatasan sumber daya tersebut, pilihan kebijakan yang di ambil pada umumnya berfokus padadua aspek, yaitu aspek penciptaan iklim berusaha yang kondusif, terutama berupa kestabilan ekonomi makro, dan aspek pengembangan infrastruktur perekonomian yang mendukung kegiatan ekonomi.
Kesetabilan ekonomi makro tercemin pada harga barang dan jasa yang stabil serta nilai tukar dan suku bunga yang berada pada tingkat yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dengan kondisi neraca pembayaran intrnasional yang sehat.
Upaya pemeliharaan kesetabilan ekonomi makro berada dalam lingkup tugas kebijakan ekonomi makro, yaiti kebijakan moneter, kebijakan fiscal, dan kebijakan nilai tukar. Begitu pula upaya pengembangan infrastruktur ekonomi berada dalam ruang lingkup tugas kebijakan ekonomi mikro, seperti seperti kebijakan di bidang industri, perdagangan, pasar modal, perbankan, dan sektor keuangan lainnya. Dua di antara berbagai kebijakan tersebut, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan di bidang perbankan, saat ini menjadi cakupan tugas Bank Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
• Apakah Penyebab Krisis Ekonomi Dan Dampaknya Terhadap Proses Pembangunan Ekonomi Indonesia?
• Bagaimana Langkah-Langkah Kebijakan Untuk Mengatasi Krisis Ekonomi ?
• Bagaimana Cara Pemulihan Ekonomi Melalui Kebijakan Moneter ?
• Bagaimana Arah Dan Sasaran Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pasca UU No. 23/99 ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Agar Dapat Mengetahui Bagaimana Kinerja Kebijakan Moneter Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi agar dapat berjalan sesui dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu;
1. Kebijakan moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar.
1. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu)
Kebijakan moneter didefinisikan dengan rencana dan tindakan otoritas moneter yang terkoordinasi untuk menjaga keseimbangan moneter, dan kestabilan nilai uang, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Jadi dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan bank sentral untuk mempengaruhi perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. Sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro, maka tujuan kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran-sasaran makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan/sasaran akhir kebijakan moneter (final target).
Semua sasaran akhir kebijakan moneter harus dapat dicapai secara bersamaan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang kontraktif untuk menekan laju inflasi dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja.
2.2 Penyebab Krisis Ekonomi dan Dampaknya Terhadap Proses Pembangunan Ekonomi Indonesia
Dalam perkembangannya, ternyata infrastruktur perekonomian di Indonesia belum mampu menghadapi semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Perangkat kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien ternyata belum tertata dengan baik. Hal itulah yang menyebabkan krisis ekonomi, kestabilan ekonomi makro ternyata tidak dapat menjamin kinerja perekonomian yang baik secara berkesinambungan selama masih terdapat kelemahan-kelemahan pada infrastruktur perekonomian.
Di sisi lain, dinamisme perekonomian yang tinggi tidak sepenuhnya disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia usaha dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sebagaimana tercermin pada kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Sementara itu, kelemahan informasi, baik mutu maupun ketersediaan, semakin memperburuk kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintah. Berbagai faktor ini memperlemah kondisi fundamental mikroekonomi sehingga meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap guncangan-guncangan eksternal.
Selain itu, buruknya pengelolaan dunia usaha juga terkait dengan belum adanya perangkat hukum yang efektif, terutama dalam penyelesaian kepailitan usaha. Berbagai kelemahan ini mengakibatkan dunia usaha cenderung melakukan investasi yang berlebihan pada sektor-sektor ekonomi yang rentan terhadap perubahan nilai tukar dan suku bunga, seperti sektor properti.
Ada dua hal yang mendorong kecenderungan investasi yang berlebihan tersebut. Pertama, dinamisme perekonomian Indonesia yang semakin meningkat telah menimbulkan keyakinan yang berlebihan pada diri investor asing sehingga mengurangi kehati-hatian mereka dalam memberikan pinjaman kepada dunia usaha di Indonesia. Kedua, dunia usaha dalam negeri memanfaatkan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri yang cukup besar sehingga arus modal masuk dari luar negeri, terutama dalam bentuk pinjaman swasta jangka pendek, terus mengalir. Pada saat yang bersamaan nilai tukar rupiah yang relatif stabil sejak beberapa tahun terakhir, telah menimbulkan adanya kepastian terhadap perkembangan kurs (implicit guarantee) sehingga meningkatkan keyakinan dunia usaha akan kemantapan perkembangan ekonomi.
Ketersediaan pembiayaan yang relatif mudah diperoleh menyebabkan sektor swasta semakin mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha sebagaimana tercermin pada tingginya pangsa utang luar negeri berjangka pendek untuk pembiayaan investasi berjangka panjang (maturity gap). Perkembangan ini dengan sendirinya menimbulkan kerentanan sektor swasta terhadap gejolak nilai tukar dan telah mendorong kepailitan pada banyak perusahaan swasta.
Selanjutnya, kelemahan-kelemahan fundamental mikroekonomi tersebut di atas mengakibatkan ketergantungan pada sektor luar negeri semakin besar, khususnya utang luar negeri sektor swasta. Ketergantungan sektor swasta kepada sektor luar negeri tersebut terus meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan investasi sektor swasta. Hal ini mengakibatkan jumlah utang luar negeri swasta meningkat tajam.
Dengan kondisi perekonomian yang masih mengidap berbagai kelemahan mendasar tersebut maka gejolak nilai tukar yang terjadi berubah dengan cepat menjadi krisis ekonomi dan keuangan yang sangat dalam. Di sektor luar negeri, pengaruh krisis nilai tukar telah menyebabkan arus modal keluar neto, khususnya sektor swasta, yang sangat besar sehingga neraca pembayaran mengalami defisit. Selain itu, posisi pinjaman dan beban angsuran pembayaran luar negeri naik sangat tinggi, terutama dalam rupiah, sehingga banyak perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Di sektor perbankan, krisis nilai tukar yang terjadi telah menyebabkan terganggunya fungsi intermediasi yang ditandai dengan banyaknya bank menjadi insolvent. Hal ini terjadi karena meningkatnya kerentanan terhadap posisi hutang dalam USD sehingga memberatkan sisi liability (pasiva) bank. Sisi asset (aktiva) bank memburuk sebagaimana tercermin pada meningkatnya kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) akibat banyaknya debitur yang default. Krisis yang berkelanjutan telah mengakibatkan perbankan nasional menjadi semakin rawan.
Pada sisi yang lain kepercayaan masyarakat semakin merosot, khususnya sejak pencabutan izin usaha. Hal tersebut terjadi karena kebijakan tersebut dilakukan tanpa persiapan yang memadai untuk menghindari rush atau bank-run. Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tersebut terlihat dari pemindahan dana oleh penabung ke instrumen/bank yang lebih aman baik di dalam maupun luar negeri. Tidak adanya lembaga deposit insurance (lembaga penjamin simpanan) membuat penurunan kepercayaan ini bertambah parah.
Di sektor moneter, tingginya bantuan likuiditas yang terpaksa diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank telah mendorong peningkatan uang beredar yang sangat besar sehingga memperbesar tekanan inflasi yang sebelumnya memang sudah meningkat tajam akibat depresiasi rupiah yang sangat besar. Di sektor fiskal, pengeluaran pemerintah, terutama untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pembayaran utang luar negeri, meningkat tajam sehingga operasi keuangan pemerintah mengalami defisit yang cukup besar. Di sektor riil, kegiatan investasi dan produksi mengalami kontraksi sementara tingkat pengangguran meningkat pesat.
2.3 Fungsi Kebijakan Moneter
Dari pengertian kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah (Bank Sentral) untuk menambah dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Sejak tahun 1945, kebijakan moneter hanya digunakan sebagai kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas ekonomi jangka pendek. Adapun kebijakan fiscal digunakan dalam pengendalian ekonomi jangka panjang. Namun pada saat ini kebijakan moneter merupakan kebijakan utama yang dipergunakan untuk pengendalian ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar, pemerintah dapat melakukan kebijakan uang ketat dan kebijakan uang longgar.
1. Tight Money Policy, yaotu kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara :
a. Menaikan suku bunga
b. Menjual surat berharga
c. Menaikan cadangan kas
d. Membatasi pemberian kredit
2. Easy Money Policy, yaitu kebijakan yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk menambah jumlah uang yang beredar dengan cara :
a. Menurunkan tungkat suku bunga
b. Membeli surat-surat berharga
c. Menurunkan cadangan Kas
d. Memberikan kredit longgar.
Macam-macam kebijakan moneter yaitu politik diskonto, politik pasar terbuka, kebijakan Cadangan Kas, kebijakan Sanering dan kebijakan Devaluasi Tertra Revolusi.
2.4 Langkah-langkah Kebijakan Untuk Mengatasi Krisis Ekonomi
Langkah kebijakan yang diambil selama krisis ini terfokus kepada mengembalikan kestabilan makroekonomi dan membangun kembali infrastruktur ekonomi, khususnya di sektor perbankan dan dunia usaha. Mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi, strategi umum dari program program ekonomi yang diterapkan di negara-negara yang mengalami krisis serupa bertumpu pada empat bidang pokok:
• Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju inflasi dan penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.
• Di bidang fiskal, ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepada upaya relokasi pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi. Salah satu bentuknya adalah dengan program Jaring Pengaman Sosial.
• Di bidang pengelolaan (governance), ditempuh kebijakan untuk memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik maupun swasta. Termasuk di dalamnya upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli, dan kegiatankegiatan yang kurang produktif lainnya.
• Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan sistem perbankan berupa program restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mencapai dua hal, yaitu: mengatasi dampak krisis dan menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang.
2.5 Pemulihan Ekonomi Melalui Kebijakan Moneter
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.14 Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka perkembangan jumlah uang beredar, yaitu M1 dan M2, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
2.6 Arah Dan Sasaran Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pasca UU No. 23/99
Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi sesungguhnya telah melahirkan suatu pemikiran ulang bagi peran Bank Indonesia yang seharusnya dalam perekonomian, dan sekaligus perannya dalam institusi kenegaraan di Republik ini. Kesadaran untuk memetik hikmah dari pengalaman itu pula yang kemudian melahirkan persetujuan DPR atas Undang Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan yang sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut, pemikiran ulang ini diformulasikan dalam suatu tujuan kebijakan moneter yang jauh lebih fokus dibandingkan dengan UU sebelumnya, yaitu “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”.
Sejalan dengan kecenderungan banyak bank sentral di dunia untuk memfokuskan sasaran kebijakan moneter kepada pencapaian stabilitas harga, pasal 7 dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara eksplisit mengamanatkan tujuan “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah” sebagai sasaran kebijakan moneter. Terminologi “kestabilan nilai rupiah” tentu saja dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda: kestabilan secara internal – yaitu kestabilan harga (stable in terms of prices of goods and services), atau kestabilan secara eksternal – yaitu kestabilan nilai tukar (stable in terms of prices of other currencies).
Dalam diskusi tentang kerangka kerja kebijakan moneter, diskusi di kalangan teoritisi maupun praktisi bank sentral cenderung mengartikan kestabilan mata uang dalam interpretasi yang pertama, yaitu kestabilan harga yang diukur dengan tingkat inflasi. Di samping karena alasan teoritis bahwa kestabilan harga merupakan sasaran yang paling relevan bagi kebijakan moneter, pasal-pasal maupun penjelasan pasal-pasal dalam UU Bank Indonesia lebih sesuai dengan interpretasi tersebut.
Bagi masyarakat secara umum, kestabilan harga merupakan sesuatu yang sangat penting khususnya bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap. Inflasi yang tinggi seringkali dikategorikan sebagai musuh masyarakat nomor satu karena dapat menggerogoti daya beli dari pendapatan yang diperoleh masyarakat. Bagi kalangan dunia usaha, inflasi yang tinggi akan sangat menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan dengan demikian akan berdampak buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka panjang. Bahkan, penelitian dengan menggunakan panel data dari beberapa negara membuktikan bahwa laju inflasi yang moderat sekalipun dapat berdampak buruk bagi proses pertumbuhan (Ghosh and Phllips, 1998)
BAB III
KESIMPULAN
Pertama, krisis ekonomi dan moneter yang dialami oleh Indonesia merupakan krisis yang terburuk di antara krisis-krisis yang dialami oleh berbagai negara akhir-akhir ini. Hal ini tercermin pada belum optimalnya pertumbuhan ekonomi, ekspor dan masih lesunya investasi asing dan domestik. Alhasil, wajah perekonomian kita masih tampil lesu. Namun demikian tidak dapat dipungkiri pula bahwa banyak kemajuan yang telah kita capai terutama di sisi kestabilan ekonomi dan moneter. Hal ini tercermin dari menguatnya nilai tukar rupiah, rendahnya laju inflasi, turunnya suku bunga, dan terkendalinya pertumbuhan uang primer. Kita tentunya berharap dengan perbaikan-perbaikan di sisi tersebut, pada gilirannya akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kesamaan pendapat, kebulatan tekad, serta konsensus nasional yang dilandasi oleh kepentingan nasional secara keseluruhan merupakan prasyarat yang sangat penting, atau bahkan mutlak, untuk keberhasilan upaya penanggulangan krisis. Oleh karena itu peningkatan koordinasi kebijakan antara otoritas moneter dengan pemerintah untuk menciptakan stabilitas ekonomi makro dan perkembangan sektor riil dalam rangka pemulihan ekonomi menjadi sangat penting. Propenas menempatkan “koordinasi” pada urutan teratas, karena menyadari, kurangnya koordinasi akan menghasilkan sasaran-sasaran yang berbeda bahkan conflicting, membingungkan masyarakat, dan pada akhirnya akan mengakibatkan rendahnya efektivitas pelaksanaan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Arestis, Philip, dan Malcolm C. Sawyer (eds), “The Political Economy of Monetary Policy”, Edward Elgar, Massachusetts, 1998.
Bank Indonesia, DPP-URES, “Perilaku Angka Pengganda Uang (Money Multiplier)”, Kertas Kerja Intern yang tidak dipublikasikan, Jakarta, 1996.
Caprio, Gerard, Jr., “Banking in Crisis: Expensive Lessons from Recent Financial
Crises”, The World Bank Research Group, Washington, D.C, June 1998.
Eatwell, J., M. Milgate dan P. Newman (eds), “The New Palgrave, A Dictionary of
Economics”, Vol. 3, London, Macmillan, 1987.
Boediono, “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”,
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1,
Juli 1998.
Djiwandono, J. Soedradjad, “Macroeconomic Policy: A Foundation for Sustainable
Economic Development”, Kumpulan Pidato dan Makalah Gubernur Bank
Indonesia Juli – Desember 1996, No. 9, Bank Indonesia, Jakarta, 1996.
International Monetary Fund, “The Asian Crisis: Causes and Cures”, Finance and
Development, Volume 35, No. 2, June 1998.
McKinnon, Ronald I., “Money and Capital in Economic Development”, Washington,
D.C., The Brookings Institutions, 1973.
Moreno, R., Pasadilla, G., dan Eli Remolona, “Asia’s Financial Crisis: Lessons and
Policy Responses”, Pacific Basin Working Paper Series: Economic Research
Department of Federal Reserve Bank of San Fransisco, USA, July 1998.
Sarwono, Hartadi A., dan Perry Warjiyo, “Mencari Paradigma Baru Manajemen
Moneter dalam Sistem Nilai tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk
Penerapannya di Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank
Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998.
Shaw, Edward S., “Financial Deepening in Economic Development”, New York, Oxford
University Press, 1973.